Jumat, 24 Juni 2011

Keprihatinan Akan Wajah Pendidikan di Indonesia ( Bahasa Indonesia vs RSBI/SBI )


Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk membentuk sekolah bertaraf internasional, sekarang mulai banyak bermunculan sekolah SBI (sekolah berstandar internasional) atau RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional) mulai dari jenjang SD sampai SMA. Kebijakan ini tentunya bertujuan mulia, yaitu internasionalisasi pendidikan supaya siswa kita mampu bersaing di dunia internasional. Namun jangan ditanya bahwa ada permasalahan yang timbul dikarenakannya sekolahan yang telah bertajuk RSBI atau SBI tersebut dalam kenyataannya hanya merupakan sekolah impian yang tak tergapai bagi kaum ekonomi lemah , dan membentangkan kastanisasi pendidikan dari segi ekonomi bagi rakyat indonesia.
Yang menarik adalah penggunaan bahasa inggris pada sekolah-sekolah SBI atau RSBI. Di sekolah dengan status SBI atau RSBI. bahasa Inggris digunakan sebagai pengantar pada pengajaran matematika dan IPA. Bahkan, ada pula yang menjadikan bahasa Inggris menjadi pengantar seluruh mata pelajaran.
Lalu, mau dikemanakan bahasa lndo-nesia sebagai bahasa ibu Pertiwi? ;Apakah memang seperti ini yang disebut internasionalisasi pendidikan, menggunakanpengantar bahasa Inggris dalam pembelajaran dan meniadakan bahasa Indonesia?
Beberapa hal di bawah ini dapat jadi bahan pertimbangan atas kebijakan itu.
1 Pengantar berbahasa Inggns bukan jaminan tingginya mutu pendidikan.
Hampir semua negara maju seperti Jerman, Cina. Jepang. Korea Selatan, dan negara lainnya menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan berkembang mulai menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah seperti Afrika. Pakistan. Indonesia, dan lainnya.
Survei yang dilakukan oleh Hywel Colemen, peneliti senior di Univesityo Leeds, Inggris. menunjukkan penguasaan pelajaran Matematika anak-anak Korea Selatan berada di tingkat pertama dari 57 negara, sedangkan Indonesia berada di urutan ke-49. Di bidang sains, anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 57 negara, namun anak-anak Korea Selatan berada di posisi ke-7.
Korea Selatan mampu membuktikan bahwa dengan pengantar bahasa ibu, mereka mampu meraih prestasi gemilang. Sementara itu, Malaysia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar menunjukkan fakta. 75 persen murid melemah dalam pelajaran IPA dan matematika. Kenyataan ini membuktikan, menggunakan bahasa Inggns tidak menjamin tingginya sebuah mutu pendidikan.
2. Melemahnya penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.
Penggunan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu memang masih banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan kantor maupun lingkungan pendidikan. Meskipun untuk tingkat yang lebih tinggi (dewasa/mahasiswa). sering kita dengar penggunaan bahasa Indonesia yang sudah bercampur dengan bahasa Inggris. Yang timbul ada semacam perasaan lebih bangga jika menggunakan bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia.
Selain itu. penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar belum tercermin. Hal ini diperkuat oleh rendahnya nilai UASBN atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional pada mata pelajaran bahasa
Indonesia dan terbatasnya penguasaan kosakata. Terbukti pembelajaran dengan pengantar bahasa Indonesia belum mampu diserap dengan baik. Apalagi, jika nantinya seluruh sekolah benar-benar menerapkan pengantar bahasa Inggris, siapa yang akan menjaga bahasa Indonesia. Kepunahannya tinggal tunggu waktu saja.
3. Memudarnya jati diri bangsa.
Jepang adalah negara yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya setempat meski mereka membuka diri terhadap budaya luar. Itu terlihat dari tulisan, bahasa, dan budaya yang masih dipegang teguh. Mereka memajukan negaranya, salah satunya dengan mengalihbahasakan semua buku berbahasa Inggris ke bahasa Jepang, bukan sebaliknya.Kabanggaan akan jati diri terlihat dan diperlihatkan dengan jelas oleh rakyat Jepang dengan tetap membawa bahasa ibu sebagi bahasanya dimanapun mereka berada;
Demikian pula di Cina. banyak sekolah bertaraf internasiol yang tetap menggunakan bahasa dan tulisan setempat. Internasionaiisasi pendidikan didapat tanpa kehilangan jati diri bangsa. Semua orang yang ingin belajar ke negeri mereka harus mempelajari bahasa mereka, sedangkan kita di sini harus berbahasa Inggris di negeri sendiri.
Jika melancong ke Inggris, jamak bila harus berbahasa Inggris. Namun, kalau orang Inggris ke Indonesia, kita pula yang harus berbahasa Inggris. Di mana harga diri kita sebagai bangsa yang memiliki kekayaan bahasa dan budaya? .Sepertinya, kita kurang percaya diri dengan bahasa kita sendiri. Kemajuan belum tentu didapat, namun jati diri bangsa kita akan semakin pudar. Dan lihatlah juga baik itu kenyataan dikehidupan sehari-hari atau lewat tayangan film dan tivi , dimana kita akan sering menemui mereka ( orang Jerman , orang Spanyol , orang Rusia , orang Cina , orang Arab ,dll ) yang tetap menggunakan bahasa ibu , meski mereka berada dinegara lain atau melancong ke Indonesia atau tinggal di Indonesia ; mereka jarang mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, mereka tetap bangga dengan bahasa ibu.
Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat , dan hal di atas dapat dijadikan renungan untuk tidak meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Kita tetap maju tanpa harus menjadi orang lain.

Sabtu, 18 Juni 2011

OTAK dan Fungsi Menurut Bagiannya Otak Kanan, Otak Kiri, Otak Tengah.



OTAK dan Fungsi Menurut Bagiannya :Otak Kanan, Otak Kiri, Otak Tengah.

Hampir setiap ibu (juga ayah) menghendaki anaknya menjadi pribadi yang sukses. Sukses tidak harus menunggu di masa yang akan datang, tetapi jika bisa, mengapa sukses tidak bisa diraih dimasa sekarang saja. Sukses di sekolahan, prestasi akademiknya bagus, membanggakan dan tidak memalukan orangtuanya, jika bisa tidak hanya sukses dalam bidang akademik saja, tetapi bisa sukses di segala bidang. Itulah sebabnya mengapa setiap ada program pelatihan yang ditawarkan kepada putra dan putri kita, kemudian para orangtua sangat antusias menyambutnya. Sekarang ini ada program pelatihan aktivasi otak tengah, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul, dan tidak jarang mampir kepada saya. Rata-rata mereka kagum tetapi kemudian muncul pertanyaan, apa ada orang sukses bisa diraih hanya dengan tempo yang singkat ? Orang sukses dengan orang jenius itu bagus yang mana ya ? Orang jenius dengan orang bahagia itu pilih yang mana ? Apakah menjadi orang sukses, sekaligus jenius dan juga bahagia bisa dilatihkan hanya dengan waktu yang sangat singkat ? Apakah para pelatihnya sendiri sudah membuktikan bahwa dirinya sudah jenius, sudah sukses juga sudah bahagia ? Kalau belum mengapa mereka mengajarkannya kepada orang lain ? Apakah para pelatihnya sudah membuktikan kepada anak-anak usia 5 – 15 tahun disekitar lingkungan terdekatnya, misalnya tetangganya, keponakannya, atau bahkan kepada putra-putrinya sendiri, dst. Semua pertanyaan itu muncul bertubi-tubi. Pada kesempatan ini, saya tidak hendak menjawab pertanyaan tersebut, tetapi saya akan menyoroti arti pentingnya suatu pelatihan dan metodologinya. Pada hakikatnya setiap orang yang ingin maju dan berkembang haruslah belajar dengan baik, tekun, disiplin dan penuh kesungguhan. Sukses harus diperjuangkan, karena penuh persaingan dan setiap orang ingin mendapatkannya. Jenius harus dikembangkan, karena menyangkut potensi yang terus menerus harus diberi stimulasi agar mewujud menjadi suatu prestasi. Bahagia harus diikhtiarkan, karena jiwa selalu merespon (bersinggungan) pada setiap interaksi yang terjadi antar insani. Bukankah setiap kita dalam kesehariannya pasti berkomunitas, berkomunikasi satu diantara yang lain, dan setiap interaksi itu membawa “warna jiwa” yang berbeda-beda ? Ada yang menyenangkan dan ada yang menyedihkan, ada yang sesuai dengan keinginan kita dan ada yang tidak sesuai, ada yang mewakili perasaan kita dan ada yang jauh sama sekali.  Itulah sebabnya mengapa sukses, jenius dan bahagia itu tidak cukup hanya dilatihkan (diajarkan) saja, apalagi pelatihan (pengajaran) yang sangat singkat. Pelatihan adalah sebuah upaya untuk memberikan stimulasi secara terencana dan terstruktur kepada seseorang agar memiliki suatu ketrampilan tertentu. Dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan (tentu juga kualitas instrukturnya). Metode yang efektif tentu bila sesuai dengan bahan ajar dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta suatu pelatihan, sehingga pengelompokan pada suatu pelatihan itu juga menjadi penting. Maka sangat relevan bila muncul suatu pertanyaan “Apa benar ada suatu pelatihan, yang menggunakan konsep mata ditutup ?” Yang buta saja ingin punya mata yang bisa melihat, kok yang bisa melihat malah matanya harus ditutup ? Apakah sudah diujicobakan pelatihan tersebut pada komunitas orang buta ? Belum lagi ada pertanyaan “Modalitas belajar seseorang itu kan berbeda-beda, ada yang visual, auditorial dan kinestetik ?” Nah, jika seorang anak itu justru modalitas kuatnya adalah visual lantas bagaimana ? Bukankah itu justru memperlemah yang sudah ada ?, dan mengembangkan yang lemah yang belum jelas hasilnya ?
Bagaimana dengan “Menjadikan anak jenius ?”. Siapa yang tidak bangga punya anak jenius. Apa artinya bangga jika yang dibanggakan itu hanya biasa-biasa saja. Kesimpulannya anak jenius adalah anak yang bisa dibanggakan dan punya kebanggaan lebih yang tidak dipunyai oleh anak-anak yang lainnya. Bahwa setiap orang harus bangga dengan dirinya sendiri itu pasti, tetapi kalau yang dibanggakan itu hal yang semua orang punya lantas buat apa ? Jenius adalah kondisi dimana tidak setiap orang mampu dan bisa untuk mewujudkannya.   Jenius bukan sekedar bermanfaat, karena setiap orang dengan nalurinya pasti bermanfaat walau hanya sekecil apapun manfaat itu, bukankah “Tidak ada makhluk dimuka bumi ini yang diciptakan Tuhan dengan sia-sia ?” . Maka jenius pasti punya nilai lebih, jangan merendahkan makna  “jenius”, karena jika jenius itu maknanya rendah (hanya sekedar bermanfaat), buat apa ikut pelatihan dengan harga yang mahal, dan jika jenius itu “bernilai lebih”, maka tidak bisa hanya dilatihkan dalam waktu yang sekejap. Jenius yang biasa-biasa sajalah yang bisa dilatihkan dalam waktu yang sekejap (tetapi apakah ada orang jenius kok biasa-biasa saja ?).
 
“OTAK TENGAH” DAN “OTAK KANAN – OTAK KIRI”
Ada tiga bentuk kebenaran hidup, antara lain kebenaran ilahiah, kebenaran alamiah dan kebenaran ilmiah. Dalam zona “kebenaran ilahiah” bahwa “tidak ada hal yang sia-sia”, itu artinya secara ekstrim “semua” adalah penting termasuk otak tengah. Pertanyaannya adalah apakah semua menjadi penting dibahas dalam hubungannya dengan membicarakan suatu kecerdasan (kejeniusan) ? Penting mana antara “nafas” dengan “otak tengah” ? Apa artinya punya otak tengah yang hebat kalau tidak punya nafas ? Tetapi mengapa kita tidak membicarakan nafas ? Karena jawabannya sudah sangat jelas bahwa nafas itu penting tetapi tidak ada korelasi secara langsung dengan adanya suatu kecerdasan (kejeniusan). Pun demikian dengan otak tengah, bahwa potensi-potensi kecerdasan itu letaknya ada pada otak kanan dan otak kiri, bukan pada otak tengah. Dalam zona “kecerdasan alamiah” bahwa masing-masing kita harus hidup yang realistis dan rasional, artinya harus mau hidup dengan potensi yang kita miliki sendiri-sendiri. Potensi itulah yang menjadi acuannya. Orang yang bisa melihat, maka gunakanlah kemampuan melihatnya secara optimal, justru jangan ditumpulkan. Orang yang buta, maka harus mengembangkan kemampuannya yang berbasis “diluar” indera peglihatannya dan disinilah (mungkin) fungsi nyata bagi adanya pelatihan aktivasi otak tengah yang menggunakan cara “mata ditutup”. Dalam zona “kebenaran ilmiah”, ada sutau pertanyaan, apakah sudah ada penelitian yang memadai tentang otak tengah ? Apakah sudah ada disertasi (sekolah S 3) tentang otak tengah ? Apakah sudah ada pengukuhan guru besar (Profesor) yang mengangkat tema tentang otak tengah ? semuanya sampai hari ini belum pernah ada. Coba bandingkan dengan Otak Kanan dan Otak kiri, banyak sudah karya ilmiah yang membahas tentang fungsi otak kanan dan otak kiri.
 
PENYIKAPAN HIDUP
Pada akhirnya, setiap kita dituntut untuk menyikapi fenomena kehidupan ini secara arif dan bijaksana. Bertanyalah pada ahlinya jika kita kebingungan terhadap suatu hal, jangan hanya diam saja, berikhtiarlah. Datanglah pada orang yang telah membuktikan dan berpengalaman dalam hidupnya. Bandingkanlah dengan fenomena lain yang ada kaitannya dengan masalah kebingungan kita, agar kita bisa membuka jendela pikiran kita, agar tidak menemui kebuntuan berpikir, agar cakrawala berpikir kita semakin luas dan agar tidak mudah dikelabuhi dan terkecoh oleh situasi sesa’at yang sesat.  Pada akhirnya semua pilihan ada ditangan kita masing-masing, dan bila ada yang kurang sempurna mohon dima’afkan, semoga bermanfa’at.

Rabu, 01 Juni 2011

Mengapa Kita Perlu Membaca Al-Qur'an Meskipun Tak Mengerti Satupun Artinya ?

Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan


kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.