Lama banget gak nulis blog ini , dan rasanya kali ini aku bukan mau menulis hasil karanganku sendiri, melainkan mengutip hasil tulisan orang yang Insya Allah akan bermanfaat bagi kita.
Dan sebagai pengantarnya apa yang akan aku share ini, aku hanya akan menambahi dengan judul : " Seberapakah Guyonanmu Mampu Menyelamatkanmu di Negeri Akherat ? "
Dan berikut ini adalah :
BERCANDA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.
[al-Ahzâb/33:21].
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM JUGA BERCANDA
Sebagai manusia biasa, kadang kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bercanda. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak
istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil
hati, dan membuat mereka gembira. Namun canda beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melampaui batas tetapi hanya
tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak
berkata kecuali yang benar.
Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّه صلىاللّه عليه وسلم مُستَجْمِعًا قَطُّ ضَا
حِكًا حَتَّى تُرَى مِنْهُ لَهَوَاتُهُ إِنَمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya
tersenyum.[1]
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah!
Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.
[2]
BEBERAPA CONTOH CANDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
1. Anas Radhiyallahu ‘anhu menceritakan salah satu bentuk canda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya dengan sebutan:
يَا ذَا الاُّ ذُ نَيْنِ
Wahai, pemilik dua telinga! [3]
2. Anas Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Ummu Sulaim Radhiyallahu
‘anha memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengannya setiap kali
beliau datang. Pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang
sedih. Mereka berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya
bermain sudah mati,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercanda dengannya, beliau berkata:
يَا اَبَا عُميرٍ مَا فَعَلَ النُغَيْرُ
“Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?” [4]
3. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bercerita, ada seorang pria
dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya
ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluknya dari belakang, sehingga ia
tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru: “Lepaskan aku!
Siapakah ini?”
Setelah menoleh iapun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka iapun tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas berkata: “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya
ini?”
Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas: “Justru di sisi Allah l engkau sangat mahal harganya!” [5]
4. Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seorang
laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu
berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah onta yang melahirkan
anak onta?” [6]
5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering kali bercanda dan menggoda Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Suatu kali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Aku tahu kapan engkau suka kepadaku dan kapan engkau marah kepadaku,”
Aku
(‘Aisyah) menyahut: “Darimana engkau tahu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Kalau engkau suka kepadaku engkau akan mengatakan,
‘Tidak, demi Rabb Muhammad,’ dan kalau engkau marah kepadaku engkau akan
mengatakan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim”. Aku (‘Aisyah) menjawab: “Benar,
demi Allah! Tidaklah aku menghindari melainkan namamu saja.”[7]
6. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda
dengan al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ia pun melihat merah lidah
beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.”
[8]
CANDA YANG DIBOLEHKAN
Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani
kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan
kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan
penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau
dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan
dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan
beberapa hal yang penting dalam bercanda.
1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta
menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa
memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar
norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa
menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan
memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan
tidak menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan
wibawa seseorang.
3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka Bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka
bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan
menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita
hendak bercanda.
4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang Serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda.
Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika
memberikan persaksian, dan lain sebagainya.
5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Saat Bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya sebagai berikut.
– Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang
bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya,
seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam
kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang
sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]
Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya,
dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.[10]
Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.
– Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta
dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak
dibolehkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْت فِي رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ
وَإِنْ كََانَ مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ
الْكَذِ بَ وَإِنْ كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ
حَسَّنَ خُلُقَهُ
Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang
yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah
istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski
ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang
memperbaiki akhlaknya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا
Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. [11]
Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan ancaman terhadap orang
yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]
Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.
– Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk
daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau
menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain
tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.
– Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas
kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela,
memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia
mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya
untuk membuat orang tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata
terjadi di tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu,
hendaklah kita jangan keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui
batas.
6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang Buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali
berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar
kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya
bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa
menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit
semangka setelah memakannya. [13]
Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ
عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].
7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebihlebihan sampai terpingkal-pingkal
ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau
bersabda :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”
Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.
8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang Membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang beliau lakukan
terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan al Hasan bin Ali, serta seorang
anak kecil bernama Abu ‘Umair.
9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam Bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan
simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal iyâdzu
billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam
kemunafikan dan kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ
تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ
مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ
كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu
surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka.
Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap Allah
dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu
takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”.
[at-Taubah/9:64-65]
Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].
Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan
bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda.
Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang
tidak dibolehkan.
Maraji‘:
1. Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
2. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
3. Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn, ‘Abdul-’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
4. Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
5. Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
6. Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni,
disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman,
Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
7. Sirah Shahîhah, Dhiyâ al-‘Umari. 8. Sunan Abu Dawud, Tashih: Syaikh
Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah
Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
9. Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Semoga bermanfaat bagi para pembaca yang budiman.....
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242, 260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161), at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
[6]. Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
[7]. Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam
Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits nomor 2439).
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits 70.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat Shahîh Abu Dawud (4184).
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).